Dari kegelapan malam muncul seorang wanita mengendarai Grand, yang kemudian diperkenalkan padaku sebagai Jeng Sri. Ia sebetulnya hendak dipijat oleh Koh Ming, namun karena antrian masih panjang, Mila mengajak kami untuk menikmati pecel kertosono. Pecel pedas yang porsinya mengingatkanku pada Gultik, dimana nikmat makanannya baru terasa setelah piring yang ke dua hehehehehehe.
Kota Warujayeng mulai sepi saat jam menunjukan pukul 9, aku dan mila berjalan berdua mengitari pasar yang terletak pas di depan rumah. Kami berniat mencari pulsa Im3 buat internetan :) beberapa orang tampak masih duduk di depan rumah sementara beberapa pedagang makanan tampak masih bersemangat melayani para penikmat kuliner malam di Warujayeng.
Kuliner di kota ini mengingatkanku pada kampung halamanku di Solo, semakin malam pedagang makanannya semakin banyak. Di malam terakhir Mila mengajakku menikmati wedhang cemuwe yaitu roti tawar yang dipotong-potong diberi gula, kacang, kacang hijau dan bubur mutiara lalu disiram dengan santan panas hmmmmm terasa hangat dan ringan, namun malam itu karena kami kemalaman jadi nikmatnya cewmuwe kami seruput tanpa kacang hijau dan bubur mutiara :)
Dinginnya malam di Warujayeng memang menawarkan sejuta kisah yang selalu kurindu, kesederhanaan yang bersahaja jauh dari hiruk pikuk kota dengan tingkat polutan yang begitu tinggi.
No comments:
Post a Comment