http://www.blogger.com/html?blogID=18866661 Edit HTML eruan: Rumah Warujayeng

Wednesday, March 17, 2010

Rumah Warujayeng

Merahnya senja menyambutku saat tiba di barong. Dengan senyum hangatnya Mila menjemputku dan membawaku pulang ke rumah bersahaja. Masih dengan halaman luasnya menyambutku dengan kokoh, kini dengan atap barunya yang teduh tegak berdiri memayungi semua kendaraan yang diparkir di halamannya setiap hari. Udara dingin kembali menusuk sesaat setelah senja menjelang berganti malam yang ditandai dengan kumandang adzan magrib, hangat teh semerbak mewangi dalam cangkir menjadi pengahat yang mujarab sebelum menikmati dinginnya air wudhu. Setelah berjamaah dengan Mila, ia mengajakku untuk bercengkrama bersama anggota keluarga yang lain. Luna sudah 6 bulan dan kali ini mirip dengan bayi yang di ice age itu lho, sementara mbak Sonya dan mas Tono tampak bahu membahu menjaganya dengan telaten. Selain keluarga inti di malam itu hadir pula Koh Ming yang mulai rajin melakukan Personal Social Responsibility dengan membantu merawat penduduk desa yang sakit melalui energi Chi-nya. Indri dan keluarganya pun tampak tengah duduk mengantri untuk dipijat oleh Koh Ming.

Dari kegelapan malam muncul seorang wanita mengendarai Grand, yang kemudian diperkenalkan padaku sebagai Jeng Sri. Ia sebetulnya hendak dipijat oleh Koh Ming, namun karena antrian masih panjang, Mila mengajak kami untuk menikmati pecel kertosono. Pecel pedas yang porsinya mengingatkanku pada Gultik, dimana nikmat makanannya baru terasa setelah piring yang ke dua hehehehehehe.

Kota Warujayeng mulai sepi saat jam menunjukan pukul 9, aku dan mila berjalan berdua mengitari pasar yang terletak pas di depan rumah. Kami berniat mencari pulsa Im3 buat internetan :) beberapa orang tampak masih duduk di depan rumah sementara beberapa pedagang makanan tampak masih bersemangat melayani para penikmat kuliner malam di Warujayeng.

Kuliner di kota ini mengingatkanku pada kampung halamanku di Solo, semakin malam pedagang makanannya semakin banyak. Di malam terakhir Mila mengajakku menikmati wedhang cemuwe yaitu roti tawar yang dipotong-potong diberi gula, kacang, kacang hijau dan bubur mutiara lalu disiram dengan santan panas hmmmmm terasa hangat dan ringan, namun malam itu karena kami kemalaman jadi nikmatnya cewmuwe kami seruput tanpa kacang hijau dan bubur mutiara :)

Dinginnya malam di Warujayeng memang menawarkan sejuta kisah yang selalu kurindu, kesederhanaan yang bersahaja jauh dari hiruk pikuk kota dengan tingkat polutan yang begitu tinggi.


No comments: